PENEMUAN PIRAMID: GELIAT MELAWAN KONSPIRASI DUNIA
Oleh: Wilman Ramdani
-Di Posting oleh: KDM
Belajar dari sejarah pemikiran filsaafat yang selalu menjadi
dasar pergerakan kehidupan, ternyata (faktanya) konsep apa pun
penerapannya sangat jauh secara adil dan sejahtera, karena pada akhirnya
memunculkan sebuah "dominasi" atau "hegemoni" yang terpusat pada satu
bahasa yaitu "konspirasi". Namun teori konspirasi bagi sebagian ilmuwan
luar dan sebagian ilmuwan kita yang belajar dari luar tidak mempercayai
"teori konspirasi" terhadap bangsa ini.
Pernah salah satu teman lulusan pascasarjana universitas di
AS mengatakan ketidakpercayaannya terhadap "teori konspirasi" yang
menurutnya itu hanya sebagai alasan sebagian bangsa kita mencari kambing
hitam. Penulis "rada" tidak sepakat dengan pernyataan seorang teman
tsb, karena penulis melihat "konspirasi" tsb sudah bukan lagi "teori",
akan tetapi sudah merupakan sebuah "praktek" dalam kehidupan
sehari-hari. Bahkan terkadang efek dari "praktek-praktek" tsb sudah
dianggap sebuah kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat. Hal ini dapat
dikatakan bahwa ketidak percayaan pada "konspirasi" karena suasana
kehidupan sekarang adalah hasil dari "produk-produk" konspirasi yang
sudah establish, atau sudah status quo, karena ada juga sebagian
masyarakat yang "enak" dan "nyaman" dengan suasana "established
conspirated" ini.
Penulis ambil contoh misalnya sebagian masyarakat akademis
Indonesia sekarang cenderung menerima "sejarah" awal kehidupan manusia
bermula pada 5000 SM sebagai sebuah pengetahuan yang established.
Padahal tidak diketahui juga secara jelas pada peradaban siapa "awal"
kehidupan dunia, apakah pada peradaban SUMERIA, atau BABILONIA, atau
MESIR KUNO? Sedangkan di bumi Indonesia ini ditemukan MAN MADE STRUCTURE
di Gn. Padang Cianjur yang usianya kurang lebih 10.000 SM.
Pertanyaannya, peradaban siapakah ini? Pada masa siapakah Gn. Padang
Cianjur dibuat? Masa Nabi siapakah ini dibangun?
Sebagian kalangan akademis Indonesia menolak kalau peradaban sebelum
5000 SM sudah maju. Fakta berkata lain, ternyata pada tahun 10.000 SM
sudah ada peradaban canggih di bumi Indonesia ini. Namun tetap, sebagian
kalangan akademis menolak, karena memang dalam referensi dan
kesejarahan mereka terbentur pada bahan bacaan yang hanya menceritakan
5000 SM.
Pembentukan pengetahuan yang mempercayai sejarah peradaban dimulai hanya dari 5000 SM merupakan struktur dan pondasi filsafat yang "linkage" antara sistem pengetahuan awal dengan fakta yang "direkayasa", agar terjadi penguatan argumentasi antara satu dengan yang lain, sehingga tidak heran kemudian muncul teori Darwin yang memperkuat teori awal sejarah manusia tersebut.
Hasilnya adalah, pengetahuan established dari sebuah "konspirasi" yang dilakukan bertahun-tahun, struktural, masuk ke alam bawah sadar Bangsa ini, menolak adanya penemuan MAN MADE STRUCTURE di Gn. Padang. "Konspirasi" tersebut sampai sekarang mengakar cukup kuat yang akhirnya berimbas pada penolakan LSM-LSM lokal yang tidak mau adanya intervensi pemerintah pusat atau daerah dalam riset dan eskavasi Gn. Padang karena selalu tidak pernah "kelar".
Belajar Dari Candi JIWA Karawang
Sebagai sebuah analogi, LSM-LSM lokal atau seniman-seniman, tokoh adat dan masyarakat mencoba menangkap fenomena penemuan MAN MADE STRUCTURE di Gn. Padang agar jangan seperti kejadian seperti Taman Nasional Cibodas yang akhirnya "dikerjasamakan" -kalau tidak dikatakan digadaikan- dengan JICA, atau geothermal yang dikerjasamakan dengan asing. Mereka secara sadar ataupun tidak telah berupaya melawan "kekuatan" konspirasi dunia yang selalu tidak pernah menguntungkan Bangsa Indonesia. Serbuan-serbuan asing mulai dari negeri Cina, Korea, Eropa, AS terus berdatangan melakukan "intervensi" pada semua struktur ilmu pengetahuan Bangsa Indonesia.
Sebenarnya, penolakan LSM-LSM lokal seperti WALHI, GENERASI PASUNDAN (GEMPAS), bahkan Tokoh-tokoh Adat Sunda dapat dimengerti, juga seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi Pemerintah Pusat maupun Daerah, bahwa rakyat sudah bosan dengan "campur tangan asing". "Jangan sampai Gn. Padang diserahkan penelitiannya kepada institusi asing atau PBB seperti UNESCO," tegas Eko Wiwid koordinator Walhi daerah ketika diskusi dengan Tim Katastropik Purba yang dipimpin Andi Arief dalam melakukan riset di Gn. Padang Cianjur.
Penulis melihat Tim Katastropik Purba cukup mengerti perasaan dan jiwa masyarakat Cianjur dan Jawa Barat khususnya serta masyarakat Indonesia pada umumnya.Atau jika boleh dianalogikan kembali, berkaca pada Candi JIWA yang pekerjaannya “diserahkan” atau “bekerjasama”dengan institusi asing dan PBB, yang hingga saat ini belum juga mendapatkan perkembangan yang berarti. Candi JIWA yang berada di Kabupaten Karawang Jawa Barat berada dalam kondisi memprihatinkan.
Tim Katastropik Purba kemudian meneliti adanya keterkaitan Candi JIWA dengan bencana katastropik purba, Tim menduga bahwa Candi JIWA yang ditemukan tahun 1984 ini lebih luas dibanding Candi Borobudur. Namun mirisnya, penulis melihat sampai saat ini riset Candi JIWA di Batujaya Karawang tersebut terbengkalai. Bahkan masyarakat ataupun media sama sekali tidak diberitahu kemajuan-kemajuan atau progresifitas hasil riset tersebut. Selain itu, ada indikasi penelitian tersebut dilakukan cenderung tertutup dan tidak transparan.
Penulis berhusnuzhan, jika Candi JIWA tersebut belum selesai –kalaupun tidak mau dikatakan terbengkalai, mungkin “interpretasi” terhadap candi tersebut tidak tuntas, akibatnya “ada keterputusan interpretasi”, sehingga akhirnya stagnan. Keterputusan “interpretasi” sejarah tadi jika ditarik benang merah pada praktek-praktek konspirasi menjadi dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Misalnya, ketika mencoba melakukan “interpretasi” terhadap temuan Candi JIWA, karena referensi pengetahuan yang terbentuk dalam ruang epsitemologi pra sejarah dan sejarah mulai tahun 5000 SM, maka akan sulit mengambil kongklusi jika batuan di situ (misalnya) lebih dari 10.000 SM. Pembentukan ruang epsitemologi pra sejarah dan sejarah tadi, adalah praktek konspirasi yang dibangun secara tidak sadar menjadi sebuah kebenaran yang establish, yang pakem.
Pemanfaatan Ancient Teknologi
Penyingkapan yang dilakukan oleh Tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang ini “datang” dari berbagai lintas ilmu, mulai dari arkeologi, geologi astronomi, budaya sampai kearifan lokal. Penulis melihat penelitian ini juga berhasil membuktikan sinergitas yang akhirnya menghasilkan riset terpadu kelas dunia. Tim ini bukan saja memberikan sumbangsih kepada dunia, mengenai satu sejarah baru, artefak baru, atau bukti baru tentang peradaban dunia yang begitu hebat dan tua, tapi tim ini juga memberikan sejarah baru untuk Indonesia.
Ada satu hal yang sangat penting dalam pengungkapan situs-situs tersebut, baik di Indonesia maupun di dunia, adalah sulitnya mengambil “pelajaran” atau “ilmu” dari situs-situs yang sudah mengalami penelitian. Ruang ini seakan-akan dipendat yang akhirnya hanya dijadikan “tontonan”, “kebanggan”, atau maksimal menjadi “tempat pariwisata” yang tersirat menjelaskan kedigdayaan dan kemodernan masa lalu. Tentu kita tidak ingin hal ini terjadi, karena jika demikian, tidak ada bedanya dengan penemuan Piramid Saqoro di Mesir atau Machu Pichu di Amerika Latin yang hanya dijadikan sebagai “kebanggan” dan “tontonan”.
Penemuan Gn. Padang Cianjur ini berbeda dengan kasus-kasus piramida yang ditemukan di Mesir dan di Amerika Latin, karena seperti yang dikatakan penulis tadi, mungkin mereka mengalami kesulitan “interpretasi” dalam memetakan sejarah piramidanya sendiri, sehingga terjadi “kesalahan” interpretasi yang akhirnya kesimpulannya jauh dari fakta yang sebenarnya.
Bangsa Indonesia harus mampu keluar dari “kungkungan” epsitemologi pengetahuan yang selama ini membentuk stagnasi ilmu pengetahuan sendiri. Jika memang ada asumsi atau bahkan keyakinan menganggap jaman dulu itu hebat, modern, dan begitu canggih, tentu penelitian Gn. Padang ini akhirnya tidak berhenti sampai “tontonan” atau “kebanggan” saja. Justru pesan-pesan yang ada di situs tersebut (sekarang atau ke depan) harus terus dikaji dan dipraktekan bagi kemaslahatan masyarakat.
Alhasil, dari tulisan di atas, penulis sebenarnya hanya mengingatkan bahwa ternyata secara tidak sadar, penemuan situs Gn Padang Cianjur ini adalah fakta Bangsa Indonesia mencoba “melawan” dan “keluar” dari konspirasi pengetahuan yang selama ini mengungkung ruang gerak pemikiran. Mudah-mudahan dengan terungkapnya Gn. Padang ini dapat mengungkap kesadaran dan semangat untuk membangun masyarakat Nusantara dan dunia yang adil dan sejahtera.
Pembentukan pengetahuan yang mempercayai sejarah peradaban dimulai hanya dari 5000 SM merupakan struktur dan pondasi filsafat yang "linkage" antara sistem pengetahuan awal dengan fakta yang "direkayasa", agar terjadi penguatan argumentasi antara satu dengan yang lain, sehingga tidak heran kemudian muncul teori Darwin yang memperkuat teori awal sejarah manusia tersebut.
Hasilnya adalah, pengetahuan established dari sebuah "konspirasi" yang dilakukan bertahun-tahun, struktural, masuk ke alam bawah sadar Bangsa ini, menolak adanya penemuan MAN MADE STRUCTURE di Gn. Padang. "Konspirasi" tersebut sampai sekarang mengakar cukup kuat yang akhirnya berimbas pada penolakan LSM-LSM lokal yang tidak mau adanya intervensi pemerintah pusat atau daerah dalam riset dan eskavasi Gn. Padang karena selalu tidak pernah "kelar".
Belajar Dari Candi JIWA Karawang
Sebagai sebuah analogi, LSM-LSM lokal atau seniman-seniman, tokoh adat dan masyarakat mencoba menangkap fenomena penemuan MAN MADE STRUCTURE di Gn. Padang agar jangan seperti kejadian seperti Taman Nasional Cibodas yang akhirnya "dikerjasamakan" -kalau tidak dikatakan digadaikan- dengan JICA, atau geothermal yang dikerjasamakan dengan asing. Mereka secara sadar ataupun tidak telah berupaya melawan "kekuatan" konspirasi dunia yang selalu tidak pernah menguntungkan Bangsa Indonesia. Serbuan-serbuan asing mulai dari negeri Cina, Korea, Eropa, AS terus berdatangan melakukan "intervensi" pada semua struktur ilmu pengetahuan Bangsa Indonesia.
Sebenarnya, penolakan LSM-LSM lokal seperti WALHI, GENERASI PASUNDAN (GEMPAS), bahkan Tokoh-tokoh Adat Sunda dapat dimengerti, juga seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi Pemerintah Pusat maupun Daerah, bahwa rakyat sudah bosan dengan "campur tangan asing". "Jangan sampai Gn. Padang diserahkan penelitiannya kepada institusi asing atau PBB seperti UNESCO," tegas Eko Wiwid koordinator Walhi daerah ketika diskusi dengan Tim Katastropik Purba yang dipimpin Andi Arief dalam melakukan riset di Gn. Padang Cianjur.
Penulis melihat Tim Katastropik Purba cukup mengerti perasaan dan jiwa masyarakat Cianjur dan Jawa Barat khususnya serta masyarakat Indonesia pada umumnya.Atau jika boleh dianalogikan kembali, berkaca pada Candi JIWA yang pekerjaannya “diserahkan” atau “bekerjasama”dengan institusi asing dan PBB, yang hingga saat ini belum juga mendapatkan perkembangan yang berarti. Candi JIWA yang berada di Kabupaten Karawang Jawa Barat berada dalam kondisi memprihatinkan.
Tim Katastropik Purba kemudian meneliti adanya keterkaitan Candi JIWA dengan bencana katastropik purba, Tim menduga bahwa Candi JIWA yang ditemukan tahun 1984 ini lebih luas dibanding Candi Borobudur. Namun mirisnya, penulis melihat sampai saat ini riset Candi JIWA di Batujaya Karawang tersebut terbengkalai. Bahkan masyarakat ataupun media sama sekali tidak diberitahu kemajuan-kemajuan atau progresifitas hasil riset tersebut. Selain itu, ada indikasi penelitian tersebut dilakukan cenderung tertutup dan tidak transparan.
Penulis berhusnuzhan, jika Candi JIWA tersebut belum selesai –kalaupun tidak mau dikatakan terbengkalai, mungkin “interpretasi” terhadap candi tersebut tidak tuntas, akibatnya “ada keterputusan interpretasi”, sehingga akhirnya stagnan. Keterputusan “interpretasi” sejarah tadi jika ditarik benang merah pada praktek-praktek konspirasi menjadi dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Misalnya, ketika mencoba melakukan “interpretasi” terhadap temuan Candi JIWA, karena referensi pengetahuan yang terbentuk dalam ruang epsitemologi pra sejarah dan sejarah mulai tahun 5000 SM, maka akan sulit mengambil kongklusi jika batuan di situ (misalnya) lebih dari 10.000 SM. Pembentukan ruang epsitemologi pra sejarah dan sejarah tadi, adalah praktek konspirasi yang dibangun secara tidak sadar menjadi sebuah kebenaran yang establish, yang pakem.
Pemanfaatan Ancient Teknologi
Penyingkapan yang dilakukan oleh Tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang ini “datang” dari berbagai lintas ilmu, mulai dari arkeologi, geologi astronomi, budaya sampai kearifan lokal. Penulis melihat penelitian ini juga berhasil membuktikan sinergitas yang akhirnya menghasilkan riset terpadu kelas dunia. Tim ini bukan saja memberikan sumbangsih kepada dunia, mengenai satu sejarah baru, artefak baru, atau bukti baru tentang peradaban dunia yang begitu hebat dan tua, tapi tim ini juga memberikan sejarah baru untuk Indonesia.
Ada satu hal yang sangat penting dalam pengungkapan situs-situs tersebut, baik di Indonesia maupun di dunia, adalah sulitnya mengambil “pelajaran” atau “ilmu” dari situs-situs yang sudah mengalami penelitian. Ruang ini seakan-akan dipendat yang akhirnya hanya dijadikan “tontonan”, “kebanggan”, atau maksimal menjadi “tempat pariwisata” yang tersirat menjelaskan kedigdayaan dan kemodernan masa lalu. Tentu kita tidak ingin hal ini terjadi, karena jika demikian, tidak ada bedanya dengan penemuan Piramid Saqoro di Mesir atau Machu Pichu di Amerika Latin yang hanya dijadikan sebagai “kebanggan” dan “tontonan”.
Penemuan Gn. Padang Cianjur ini berbeda dengan kasus-kasus piramida yang ditemukan di Mesir dan di Amerika Latin, karena seperti yang dikatakan penulis tadi, mungkin mereka mengalami kesulitan “interpretasi” dalam memetakan sejarah piramidanya sendiri, sehingga terjadi “kesalahan” interpretasi yang akhirnya kesimpulannya jauh dari fakta yang sebenarnya.
Bangsa Indonesia harus mampu keluar dari “kungkungan” epsitemologi pengetahuan yang selama ini membentuk stagnasi ilmu pengetahuan sendiri. Jika memang ada asumsi atau bahkan keyakinan menganggap jaman dulu itu hebat, modern, dan begitu canggih, tentu penelitian Gn. Padang ini akhirnya tidak berhenti sampai “tontonan” atau “kebanggan” saja. Justru pesan-pesan yang ada di situs tersebut (sekarang atau ke depan) harus terus dikaji dan dipraktekan bagi kemaslahatan masyarakat.
Alhasil, dari tulisan di atas, penulis sebenarnya hanya mengingatkan bahwa ternyata secara tidak sadar, penemuan situs Gn Padang Cianjur ini adalah fakta Bangsa Indonesia mencoba “melawan” dan “keluar” dari konspirasi pengetahuan yang selama ini mengungkung ruang gerak pemikiran. Mudah-mudahan dengan terungkapnya Gn. Padang ini dapat mengungkap kesadaran dan semangat untuk membangun masyarakat Nusantara dan dunia yang adil dan sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar